Ibu Oh... Ibu (Arti Cinta Bagi Seorang Ibu)
Mengutip dari Milis forkomlipi2006@yahoogroups.com dengan beberapa perubahan
Bandung (16/2/2007) Apa yang paling dinanti seorang wanita yang baru saja menikah? Sudah
pasti jawabannya adalah kehamilan. Seberapa jauh pun jalan yang harus
ditempuh, seberat apa pun langkah yang mesti diayun, seberapa lama pun
waktu yang kan dijalani, tak kenal menyerah demi mendapatkan satu
kepastian dari seorang bidan; "positif".
Meski berat, tak ada yang membuatnya mampu bertahan hidup kecuali benih
dalam kandungannya. Menangis, tertawa, sedih dan bahagia tak berbeda
baginya, karena ia lebih mementingkan apa yang dirasa si kecil di
perutnya. Seringkali ia bertanya; menangiskah ia? Tertawakah ia? Sedih
atau bahagiakah ia di dalam sana? Bahkan ketika waktunya tiba, tak ada
yang mampu menandingi cinta yang pernah diberikannya, ketika mati pun
akan dipertaruhkannya asalkan generasi penerusnya itu bisa terlahir ke
dunia. Rasa sakit pun sirna sekejap mendengar tangisan pertama si buah
hati, tak peduli darah dan keringat yang terus bercucuran. Detik itu,
sebuah episode cinta baru saja berputar.
Tak ada yang lebih membanggakan untuk diperbincangkan selain anak- anak.
Tak satu pun tema yang paling menarik untuk didiskusikan bersama rekan
sekerja, teman sejawat, kerabat maupun keluarga, kecuali anak-anak. Si
kecil baru saja berucap "Ma..." segera ia mengangkat telepon untuk
mengabarkan ke semua yang ada didaftar telepon. Saat baru pertama
berdiri, ia pun berteriak histeris, antara haru, bangga dan sedikit
takut si kecil terjatuh dan luka. Hari pertama sekolah adalah saat
pertama kali matanya menyaksikan langkah awal kesuksesannya. Meskipun
disaat yang sama, pikirannya terus menerawang dan bibirnya tak lepas
berdoa, berharap sang suami tak terhenti rezekinya. Agar langkah kaki
kecil itu pun tak terhenti di tengah jalan.
"Demi anak", "Untuk anak", menjadi alasan utama ketika ia berada di
pasar berbelanja keperluan si kecil. Saat ia berada di pesta seorang
kerabat atau keluarga dan membungkus beberapa potong makanan dalam
tissue. Ia selalu mengingat anaknya dalam setiap suapan nasinya, setiap
gigitan kuenya, setiap kali hendak berbelanja baju untuknya. Tak jarang,
ia urung membeli baju untuknya dan berganti mengambil baju untuk anak.
Padahal, baru kemarin sore ia membeli baju si kecil. Meski pun,
terkadang ia harus berhutang. Lagi-lagi atas satu alasan, demi anak.
Disaat pusing pikirannya mengatur keuangan yang serba terbatas,
periksalah catatannya. Di kertas kecil itu tertulis: 1. Uang sekolah
anak, 2. Beli susu anak, 3. Beli baju anak ... nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yang
lain. Tapi jelas di situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi
prioritasnya. Bahkan, tak ada beras di rumah pun tak mengapa, asalkan
susu si kecil tetap terbeli. Takkan dibiarkan si kecil menangis, apa pun
akan dilakukan agar senyum dan tawa riangnya tetap terdengar.
Ia menjadi guru yang tak pernah digaji, menjadi pembantu yang tak pernah
dibayar, menjadi pelayan yang sering terlupa dihargai, dan menjadi babby
sitter yang paling setia. Sesekali ia menjelma menjadi puteri salju yang
bernyanyi merdu menunggu suntingan sang pangeran. Keesokannya ia rela
menjadi kuda yang meringkik, berlari mengejar dan menghalau musuh agar
tak mengganggu. Atau ketika ia dengan lihainya menjadi seekor kelinci
yang melompat-lompat mengelilingi kebun, mencari wortel untuk makan
sehari-hari. Hanya tawa dan jerit lucu yang ingin didengarnya dari
kisah-kisah yang tak pernah absen didongengkannya. Kantuk dan lelah tak
lagi dihiraukan, walau harus menyamarkan suara menguapnya dengan auman
harimau. Atau berpura-pura si nenek sihir terjatuh dan mati sekadar
untuk bisa memejamkan mata barang sedetik. Namun, si kecil belum juga
terpejam dan memintanya menceritakan dongeng ke sekian. Dalam kantuknya,
ia terus pun mendongeng.
Tak ada yang dilakukannya di setiap pagi sebelum menyiapkan sarapan
anak-anak yang akan berangkat ke kampus. Tak satu pun yang paling
ditunggu kepulangannya selain suami dan anak-anak tercinta. Serta merta
kalimat, "sudah makan belum?" tak lupa terlontar saat baru saja memasuki
rumah. Tak peduli meski si kecil yang dulu kerap ia timang dalam
dekapannya itu sudah menjadi orang dewasa yang bisa membeli makan
siangnya sendiri di kampus.
Hari ketika si anak yang telah dewasa itu mampu mengambil keputusan
terpenting dalam hidupnya, untuk menentukan jalan hidup bersama
pasangannya, siapa yang paling menangis? Siapa yang lebih dulu
menitikkan air mata? Lihatlah sudut matanya, telah menjadi samudera air
mata dalam sekejap. Langkah beratnya ikhlas mengantar buah hatinya ke
kursi pelaminan. ia menangis melihat anaknya tersenyum bahagia dibalut
gaun pengantin. Di saat itu, ia pun sadar buah hati yang bertahun-tahun
menjadi kubangan curahan cintanya itu tak lagi hanya miliknya. Ada satu
hati lagi yang tertambat, yang dalam harapnya ia berlirih, "Masihkah kau
anakku?"
Saat senja tiba. Ketika keriput di tangan dan wajah mulai berbicara
tentang usianya. Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi masanya kan berakhir.
Hanya satu pinta yang sering terucap dari bibirnya, "bila ibu meninggal,
ibu ingin anak-anak ibu yang memandikan. Ibu ingin dimandikan sambil
dipangku kalian". Tak hanya itu, imam shalat jenazah pun ia meminta dari
salah satu anaknya. "Agar tak percuma ibu mendidik kalian menjadi anak
yang shalih sejak kecil," ujarnya.
Duh ibu, semoga saya bisa menjawab pintamu itu kelak. Bagaimana mungkin
saya tak ingin memenuhi pinta itu? Sejak saya kecil ibu telah
mengajarkan arti cinta sebenarnya. Ibu lah madrasah cinta saya, sekolah
yang hanya punya satu mata pelajaran: cinta. Sekolah yang hanya punya
satu guru: pecinta. Sekolah yang semua murid-muridnya diberi satu nama:
yang dicinta.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment